Melepaskan
Rasa
Cinta datang tanpa diharapkan
Anehnya pergi ketika diharapkan
Cinta tidak menunggu
Namun,
Dia berani mengambil kesempatan atau meninggalkan
kesempatan
Ketika keberanian ada
Maka sepatutnya melepasnya atau merangkul
perasaan itu
Namun bagaimana jika kau harus
melepaskannya?
Di saat kau membutuhkannya.
Enam
tahun telah berlalu, bukan waktu yang sedikit. Cinta memberikan pilihan di
waktu yang terlalu dini, menurutku. Dini karena pada saat itu himmahku atau
semangatku adalah menuntut ilmu agama dan ilmu dunia untuk bekalku di kehidupan
akhirat dan dunia. Itu cita-cita yang coba kuwujudkann enam tahun lalu.
Cita-cita itu telah ku tulis dalam buku diari SMA ku. Hari-hari dilalui penuh
semangat, bagaimana tidak. bisa bekerja sambil kuliah dan tetap mengikuti materi
taklim rutin setiap akhir pekan adalah nikmat tersendiri bagi mahasiswa
aktifis.
Hingga
di suatu hari, seorang guru ngaji memberikan tawaran yang mengacaukan perasaan
yang teduh. “Ada seorang ikhwah hafiz yang tertarik dengan ana, udah lulus
kuliah di teknik dan punya pekerjaan tetap alias mapan dan gaji lumayan besar
untuk standar hidup di kota besar”
“What?”
Seketika saya jadi gemetar, bagaimana tidak
ikhwah jurusan teknik dan hafiz adalah idaman akhwat. Apalagi udah punya
pekerjaan mapan. Saya tidak menyangka akan ditawari seorang ikhwah ideal
diwaktu yang begitu dini. Tapi itulah hidup, serangkaian pilihan yang harus
kita hadapi.
Disatu
sisi, dia lelaki yang sempurna buatku, pikirku. Suami ideal, dari segi akademik
dapet, dari segi pekerjaan dapet apalagi dari segi agama dapat. Imam masjid dan
hafiz pula. Jika aku menuruti kata hati aku akan melawan impianku sendiri untuk
melanjutkan studi. Ketika itu dengan polos dan culunnya aku berdoa “Ya Allah
semoga Ikhwah ini mendapatkan calon istri yang lebih baik”.
Dan
benar saja setahun kemudian laki-laki itu mendapatkan jodoh yang mau
benar-benar konsisten dengan sunnah. Turut senang, namun sejujurnya ada
perasaan sesak karena istrinya sahabat saya sendiri. kembali lagi itu namanya
jodohnya. Kata sahabatku itu, sebelum mereka menikah: “Jodoh tak akan
tertukar”. Benar banget, kan jodoh tidak seperti sandal jepit. Itulah scenario
Allah. Untuk membuktikan “apakah tanpa dia, akankah ilmu tetap dilazimi?”
karena setiap nafas perlu memperbaiki kembali niat. Niat awalku mempelaji agama
adalah memelajari tauhid, membenarkan mengaji dan belajar bahasa arab. Ku
perbaiki kembali niat itu karena hati selalu rapuh. Semoga Aku dapatkan yang
lebih baik dari sehabatku itu dan aku tetap memantaskan diri bukan karena untuk
mendapatkan dia, tetapi karena memang saharusnya jiwa memurnikan ketaatan dan
pengabdian dalam hidup. Sungguh sangat keliru jika memantaskan diri untuk
mendapatkan dia, lalu apa bedanya dengan orang yang bersedekah hanya karena ingin
mendapatkan imbalan?
Adakah
yang lebih halus dari niat?
Adakah
yang lebih lihai dari setan
Namun
jika niat itu LIllah maka sudah seharusnya kita melepas rasa karena Allah
Karena
jika setan melihat celah
Tentu
dia akan bermain dalam celah
Namun
orang yang ikhlas tak tertandingi
Maka
pada hakikatnya kita hanya perlu mengalahkan hawa nafsu kita sendiri
Hingga
Allah menganugrahkan karunianya di waktu yang tepat
Karena
tidak semua orang yang baik adalah orang yang tepat
Jika
dia orang yang tepat maka dia akan datang dengan cara yang benar
Karena
kau berhak mendapatkan yang lebih baik
Maka
ikhlaskanlah segala rasa hanya kepada Allah
Komentar
Posting Komentar