Di depan layar
berukuran empat belas inci. Aku mematung, hanya jemariku yang bergerak. Di
sampingku duduk seorang gadis dengan buku di tangan. Dia membaca buku Ph.D MOM.
Buku yang baru saja dia beli dan hampIr setengah telah kulahap. Namun proses
membacaku terhenti, karena pekerjaan sampingan yang aku kerjakan di sela
mengajar. Translation, aku menikmati translation karena aku tipikal orang yang
senang bekerja di belakang layar. Dan aku juga tipe orang semantic, artinya apa
yang tertulis dalam teks bacaan maka itulah yang aku bisa pahami. Aku kurang
mengerti gurauan dalam bentuk pragmatic, sindirin. Jadi aku memang cocok
mengekspresikan pikiranku dalam bentuk tulisan.
Beberapa orang mengatakan aku
melankolis atau tipe plegmatis. Tapi apa peduli mereka, aku lah yang peduli
dengan jalan pikirannku sendiri. Apalah. Hehe. Well
Di era modern
ini, kita tidak lepas dari yang namanya gadget. Tujuh tahun yang lalu, salah
seorang praktisi yang bekerja di Telkomsel Kota Makassar berkesempatan mengisi
workshop kewirausahaan di UNHAS. Dia bilang ke kami bahwa, jaman sekarang
mahasiswa lebih baik ndak bawa uang dari pada ndak bawa hape. Well. Itu benar
tujuh tahun yang lalu, sebab kenapa?. Tujuh tahun yang lalu, pertemanan sangat
kental dan saya sejujurnya lebih takut lupa hape daripada lupa bawa uang kalau
mau ke kampus. Kenapa? Karena kita masih di dunia kampus. Saya menyebutnya
duani rawa. Karena masih dalam lahan basah, kita dengan mudah menemukan
orang-orang baik yang dengan senang hati membantu jika berkekurangan uang. Kita
bisa nebeng makan sama teman atau nebeng makan di seminar promosi doctor,
seminar hasil, seminar proposal, atau seminar-seminar yang bejibun di area
kampus. Tetapi ketika kita lupa bawa hape maka kita tidak bisa mendapatkan
informasi kapan kelas di mulai, informasi projek translation yang bisa kita
jadikan lading penghasiland, informasi ngajar-2 privat, di mana pertemuan
teman-teman kita dan apakah kelas di-cancel atau tidak. Well, tujuh tahun yang
lalu bagi saya sebagai mahasiswa, hape lebih penting dibandingkan uang. Paket?
Bisa pakai sinyal kampus. Selesai urusan. Sebab dengan hape kita bisa liat
status FB teman, status Twitter teman, status dosen, dan kegiatan dosen. Jadi
mudah merencanakan langkah selanjutnya.
Tujuh tahun
telah berlalu, keadaan ada yang berubah dan tidak banyak yang berubah. Yang
berubah adalah ketika keluar rumah saya pastikan dompet terisi dan baterai hape
terisi dengan penuh. Yang tidak banyak berubah adalah dunia persosial media-an.
Jika dulu tahun 2008 -2010 FB booming, sekarang media ini mulai ditinggalkan
oleh generasi 90an dan mulai beralih ke Instagram. Namun tidak sedikit ibu
rumah tangga khususnya di desa atau di kota tetapi telah paruh baya atau ibu
rumah tangga di kota namun bekerja sebagai buruh perusahaan yang masih
menggunakan FB dan mereka menggunakannya sebagai media silaturahim bahkan
hujatan. Pagi ini seperti biasa aku menyambangi wall ku sendiri dan melihat
beberapa aktifitas teman-teman yang aku follow dan friend sekaligus. Karenajika
aku hanya ber friend tanpa follow, aku tak bisa melihat aktifitasnya. Salah
seorang teman SDku dengan menggunakan Bahasa daerah menghujat suaminya sendiri
di wall FBnya. hanya dibawah lima puluh yang menglike dan mendekati seratus
komen, padahal dia baru saja memposting statusnya kurang dari satu jam. Jika
aku melirik sekilas temanku adalah perempuan ibu rumah tangga yang hanya
berpendidikan sampai SMA. Dia merantau bersama suaminya semenjak selesai SMA. Sementara
ketika itu, aku sedang sibuk menjadi Maba di sebuah universitas di kota daeng. Dalam
hal ini saya tidak sedang berusaha mendiskreditkan seseorang dengan latar
pendidikan yang rendah dan juga tidak sedang mendiskreditkan orang dengan latar
belakang daerah marginal. Well, saya tidak terkejut dan kaget namun sedikit
melirik dan tergelitik untuk menulis ini. Jika dulu ketika ibu marah kepada
suami maka mereka hanya cukup mongomel dan bisanya yang dengar tembok namun
sekarang ketika seorang “korban” marah kepada suaminya, ya biasanya di
lampiaskan ke FB. Well, beda orang, beda jaman, beda teknologi. Kehidupan kita
sekarang benar-benar ter-attach dengan teknologi. Bangun tidur, liat hape. Jam
berapa. Terkadang sambil buka status sendiri dan stalking status adik-adik atau
orang-orang yang kita kagumi dalam diam.
FB
bagus untuk sharing namun kita tidak menyangkal ada dampak destruktif atau
merusak yang tidak kalah pentingnya. Lalu apakah FB haram? Well. Saya tidak
berani menjawab namun secara umum media social itu seperti pisau akan
bermanfaat jika digunakan untuk mencincang daging sapid an merusak jika
digunakan untuk menikam. Hal yang perlu dilakukan adalah lebih memikirkan apa
yang kita posting terlebih dahulu baru kemudian diposting. Apakah status ini
bermanfaat atau tidak. Nah kalaupun bermanfaat apakah akan mendatangkan manfaat
atau hanya pamer yang menimbulkan kecumburuan social? Atau hanya sebagai
gengsi? Baiknya kita tidak mementingkan perasaan pribadi kita karena ketika
status kita diposting status itu telah diposting maka itu bukan saja menjadi
tuturan yang kita miliki tetapi miliki umum. Secara otomatis kognisi social
bekerja dengan perspektif yang berbeda-beda Karena status anda diinterpretasi
oleh orang yang berasal dari latar belakang pendidikan, pemahaman agama,
preferensi seks yang berbeda. Dari semua status yang saya perhatikan biasanya
orang yang mengilmui pendidikan di universitas, sekolah atau pesantren memilki
pertimbangan yang baik sebelum memasang status, kecuali ada keadaan yang
benar-benar extra-ordinary.
Komentar
Posting Komentar