di tahun 2018 sekitar bulan agustus kemarin
Waktu sibuk-sibuknya akreditasi borang universitas dan borang Prodi serta fakultas di Kampus
Seorang teman kantor secara tiba-tiba bertanya dan membuat kami berdiskusi sebentar
“mba, pernahkah mba menjalani proses ta’aruf?”
“kalau proses ta’aruf yang tukar biodata belum pernah mbak, tapi kalau proses saya dicomblangin sama ustazah, dan guru ngaji saya di Makassar pernah bahkan sering mba, kalau di kampung pernah juga bibinya si cowok yang suka sama saya itu nyampein langsung. Kenapa mba?”
“ada ini, mba. Teman saya nawarin saya CV ta’arufnya seseorang”
“trus?”
“ya saya akan mencoba kali ini” jawabnya dengan penuh harap. Kulihat di matanya ada harapan baru.
“ya coba aja mba, tidak ada salahnya..”
“iya mba, ini saya lagi mau ketemu orangnya. Saya tu gini mba, saya tidak mau merasa nyaman dengan keadaan saya sekarang”
“benar mba” imbuhku. “bibit bobotnya juga harus diliat mba” imbuhku
“perlu memang melihat bibit bobotnya mba, keluarganya kayak gimana”
“iya”
“tapi mbak, jangan sampai hanya karena latar belakang keluarganya, kita mengabaikan potensi dia pribadi untuk berkembang” wah kali ini saya liat benar aura seorang psikolog di diri mba ini.
Benar juga ya, batinku, seorang laki-laki kan juga perlu diberikan ruang untuk dipercaya, ya kita perempuanlah yang memberikan ruang itu.
Ketika Mba Psikolog itu menceritakan uneg-unegnya. Allah telah menjawab keraguan saya untuk meneruskan memberi kesempatan kepada seorang lelaki nun jauh di sana. Allah sangat Sempurna dan Kuasa dengan ke Maha Pengertiannya. Ketika itu, Mba itu tidak hanya bercerita tentang uneg-unegnya tetapi dia juga memberikan saya jalan keluar tentang masalah yang saya hadapi. Waktu itu saya beranikan langkah untuk membuka hati saya untuk seseorang. Bersamaan dengan itu kami; aku dan mba itu sama-sama melangkah. Dengan penuh tawakkal, ini salah satu ikhtiar saya menjemput sang Pemimpin keluarga. Memulai ta’aruf.
Ketika itu, matahari Sore bersinar dengan sangat cerah. Sore yang tenang di penghujung Agustus 2018. Di kampus hanya ada beberapa motor dan mahasiswa yang berlalu lalang. Kami bergegas pulang dan sempat kuabadikan foto sawah dengan warna padi yang telah menguning. Ku berhentikan motorku di tepian jalan. Kutangkap gambar ciptaan Allah melalui Kameraku dan berharap suatu saat aku akan melupakan semua kepayahanku menanti dia dengan melihat foto ini. Dia yang selama ini dalam doaku dan dalam sujudku selalu kuminta dengan bercucuran air mata. Maaf ya, bukan lebai tapi kenyataan. Annnnnnnnnndddd I hate when someone say lebai while it’s true emergency and badly needed.
Komentar
Posting Komentar