Langsung ke konten utama

A Slice of Chennai Bread


A Slice of Chennai Bread

https://cookpad.com/id/resep/5721235-roti-maryam-canai-freezer


Perempuan itu berjalan mendekatiku. Ini pertama kalinya aku melihat dia di komplek pemukiman mahasiswa ini. Badannya gempal. Dia mengenakan penutup kepala dan sarung yang tidak bersahabat dengan warna kulitnya. Sarung itu dia ikat dipingganya. Jilbabnya yang selutut menutup warna-warni sarung itu. Seperti sarung warga lokal. Tinggal beberapa langkah lagi dia akan mendekati tempatku berdiri. Kuperhatikan parasnya, sepertinya dia bukan orang daerah sini. Aku dan Lia berdiri bersisian. Sepertinya perempuan itu ingin bertanya sesuatu kepadaku. Dengan matanya yang menyala dia tiba-tiba memegang ujung jilbabku. Eh, ada apa ini? Ini perlakuan yang tidak sopan secara kultural sini. Tapi aku memakluminya.
“Dimana ini?”
“satu saya?”
“Jilbab ini”
“Satu saya?”
Perempuan itu tanpa beranjak tetap mengulang-ulang frasa terakhir ini. Aku kebingungan. Bahasa indonesianya masih terbata-bata. Jika dilihat matanya hitam. Kulitnya lebih dari sawo matang. Bahkan mendekatai gelap. Dikatakan orang Afrika bukan. Orang Filipina juga bukan. Dia tidak sipit. Giginya tidak terlalu putih seperti Afrika. Orang lokal juga bukan. Tidak ada aksen bahasa daerah yang kudengar selama dia berucap sepatah dua patah kata tadi.
Lia mengguncang lenganku.
“ini kak ati”
“ini kak ati” ujar Lia. Eh, mengapa pulak anak ini sekarang ikut kagok seperti perempuan asing di depanku.
“dia minta jilbab satu”
“saya punya di kosan” ujar lia secepat kilat. Dia berbicara dengan perempuan asing di depanku seperti berbicara dengan orang bisu. Tangannya bergerak-gerak tak karuan. Memperagakan bahasanya dengan pas agar dipahami perempuan asing tersebut. Komunikasi dua orang yang belum terdeteksi bahasa indonesiakah atau bahasa hati kuperhatikan dengan saksama. Pun perempuan di depanku ini entah berasal dari benua mana. Waduh gue dikalahin sama lia dalam hal memberi. Lia anak baru di kosan ini memang tidak pernah sungkan untuk memberikan barang-barang yang dia miliki walaupun ke orang baru dia kenal sekalipun. Dia sering memberikan makanan ke teman-teman kelasnya dan juga sering mengajak teman kampusnya menginap di kamarnya. Padahal dia juga mahasiswa yang dibilang kere. Dikirimin uang oleh bapaknya syukur-syukur ada. Biaya SPP masih sering nunggak bahkan tidak jarang dia meminjam uang belanja bulananku untuk SPPnya. 
“Ayok ikut saya” lia berbicara sambil memperagakan jalan dengan caranya yang sedikit belepotan.
“Ayok kak ati ke kosan” kali ini dia menarik lengan kerempengku sekali lagi. Sakit? Iya. Badan lia yang sedikit gempal namun diimbangi oleh tingginya yang sekitar 157 bisalah dikatakan body ideal bagi masyarakat setempat. Ditambah lagi kulit putihnya dan matanya yang berwarna coklat bisa jadi deretan perempuan dengan uang panaik yang patut diperhitungkan. Ditambah jurusan yang dia ambil di tempat dia kuliah sekarang termasuk jurusan sejuta ummat idola Fakultas Teknik, Teknik Industri. Hanya satu yang kurang, tidak ada gelar Andi di depan namanya. Kekurangan selanjutnya, dia perempuan yang memakai Toa jika berbicara. Artinya ketika dia berbicara nada suaranya keras. Lebih baik dimarahi orang solo daripada di ajak bicara oleh lia. Itu tidak masalah, tak akan mengurangi nilai panaiknya dan juga kebaikan hatinya. Hatinya?, jangan ditanyakan. Baik sekali. Lia, jika dia punya uang lima puluh ribu dan temannya kelaparan mungkin empat puluh lima ribu untuk temannya dan lima ribu untuk dia. Begitulah Lia. Entah sampai kapan dia akan terus seperti itu.
Kami bertiga berjalan beriringan. Aku di depan. Lia dan perempuan asing itu berjalan berdua bersisian. Tanpa menggunakna bahasa yang jelas. Mereka berdua berbicara, bahasa apalah yang mereka pakai di belakangku.  Entahlah. Mungkin campuran antara bahasa telepati dan bahasa kemanusiaan.
“kak ati, kosannya ini Ibu agak jauh” sahut Lia.
“jadi?”
Kulihat wajahny agak ragu.
“eh harus kau penuhi kata-katamu. Sekali layar terkembang pantang surut ke tepian. Terlepas ucapan dari lidahmu, janji telah berlaku. Janji punya kehormatan cess.” Ucapku seperti emak-emak yang menceramahi anaknya
      Jika aku telah mengeluarkan ceramahku seperti ini. Lia mengerti karakterku. Aku berbalik badan dan terus berjalan. Kudengar langkah Lia dan ibu itu mengikutiku. 
Langkah kami terhenti di rumah kosan seperti istana. Empat lantai, ibu itu memandangi kosan itu dengan takjub. Gaya arsitektur kosan bergaya Eropa. Cat warna cream pastel dengan tiang berukuran besar menambah anggun gedung ini. Di depannya ada kosan rumah kayu, penduduk setempat menyebutnya balla’. Kosan kayu ini tediri dari dua lantai. Lantai bawah semi permanen. Lantai dua sebagian berdinding kayu dan sebagian berdinding seng. Bisa dibayangkan panasnya? Jangan risau panasnya kota ini tidak seberapa dengan panasnya daerah nusa tenggara barat dan timur. Panasya kota ini masih memiliki kelembaban yang sangat tinggi. Rawa-rawa di sekitar bangunan dan rumah panggung ini tidak pernah kering walaupun musim kemarau. Mungkin juga rawa-rawa ini membantu kami merasa tidak terlalu panas. Sejauh mata memandang yang ditemukan adalah hamparan hijau dan lahan rawa. Rawa kecebong atau ikan bandeng masyarakat setempat.
Menimbun rawa sebelum dibangun rumah atau kosan juga sama besarnya dengan biaya membeli material satu rumah. Bisa dibayangkan betapa tidak bisa diduganya kedalaman dan kedangkalan rawa ini. Di kondisi tanah dan situasi seperti itulah kami hidup. Rawa yang tak pernah kami cari tahu kedalaman dan kedangkalannya. Satu hal yang pasti, ketika kami menggali tanah di halaman depan, sehasta air telah terlihat.
Bukan hal asing di kota ini melihat warga memelihara bandeng di samping rumahnya yang berada di dekat rawa. Masyarakat setempat menyebut bandeng dengan sebutan “ikan bolu”. Di warung-warung makan di kota ini, menunya kebanyakan dua pilihan. Ayam atau ikan bolu. Seperti KFCnya kota ini. Tahun 2008-2010 masih ada warung menjual nasi ikan tiga ribu. Nasi ayam lima ribu. Porsinya? Jangan ditanya, segede porsi tukang batu. Mahasiswa bisa membagi menjadi dua kali waktu makan. Makan siang dan sore. Namun lidah dan perut ati tidak pernah bersahabat dengan makanan warung. Perut ati selalu minta dimasakan nasi dan lauk pauk khas rumah. Sesekali saja dia membeli makanan warung. Teman-temannya pernah menegur. Masak itu lebih mahal biayanya daripada beli makanan jadi. Kalau beli makanan jadi bumbu dah lengkap. Dan lebih hemat. Ujar teman-temannya. Ati hanya menganggapnya angina lalu. Mereka tidak pernah tahu kenikmatan memasak. Bisik hati ati. Kembali ke Balla. Sambil melihat gedung tinggi itu, perempuan asing kemudian melihat langkah kaki kami yang sedang bergerak menuju rumah kayu di depan kosan megah itu. Melihat tingkah ibu itu membuat hatiku tergelitik. Pasti dia mengira kami tinggal di kosan megah itu. Entahlah, mungkin dia takjub level kuadrat dengan kosan itu. Seperti mengingat kampong halamannya. Dari caranya memandang, kemampuan prediksiku seperti melesat terlalu jauh.
Lia memberikan jilbab ke ibu itu. Bercakap sepatah dua patah kata. Kuperhatikan ibu itu, dia memandang ke arahku dan lia secara bergantian. Seperti mengajak kami ke tempat dia tinggal.
“ayok kak”
“mari” sambutku
Sesampai di gerbang tempat dia tinggal. Berderet sepatu anak-anak dan laki-lai di depan kamar kosannya. Di samping kamar kosannya keluar lelaki beras kauskasoid. Wajahnya khas pemuda Caspian. Mata sipit, putih kekuningan, rambutnya lurus, matanya tajam, hidungnya tidak mancung maupun pesek, perawakannya sedang saja, namun rahang dan bibirnya menjelaskan jelas dia bukan orang lokal. Berucapa sepatah dua patah kata bahasa farsi. Kedengaran aneh, tetapi beberapa tahun terakhir ini. Kami telah familiar. Jelas, dia pencari suaka dari Iran. Mereka menyebut Indonesia sebagai Negara Transit. Begitu mudah menebak mereka bahkan dari jarak seratus meter. Berbeda dengan perempuan asing yang tinggal beberapa langkah lagi akan kumasuki rumahnya alias kosnya ini. Di dalam rumah berukuran empat kali lima meter itu, ada seorang anak laki-laki seusia SD dan satu anak perempuan seusia SMP dan bayi. Oh, mungilnya bayi itu. Keluarlah seorang lelaki sebaya perempuan ini dari kamar WC. Laki-laki itu jelas ras Asia selatan, India. Saya mengerti mereka serakang berasal dari Negara mana.    
Dapur tepat di depan kosan mereka. Kompor gas dua tungku dan gas sepuluh kilo, bertendengan tepat di depan rak sepatu.
“kamu mahasiswa?”
“iya” lelaki ini berbicara bahasa Indonesia dengan lancar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MORFEM ZERO

Morfem Zero Morfem Zero adaalah sebuah penemuan baru yang dikemukan oleh Kamsinah (…) dalam disertasinya, morfem zero ini merupakan salah satu teori yang menunjukkan konsep kesemestaan bahasa (Language Universal). Darwis (2003) menyatakan : “ada enam prinsip pengenalan morfem salah satunya adalah pada prinsip keempat dia mengatakan”satuan yang berparalel dengan kekosongan dalam satuan struktur bunyi atau fonologik adalah morfem, yaitu disebut morfem zero”” Dari pengertian diatas dapat ditarik beberapa point penting sebuah bentuk dikatakan morfem zero 1.       Satuan tersebut berparalel 2.       Satuan tersebut kosong 3.       Ada pada satu struktur bunyi atau fonologik Contoh yang paling konkret adalah bahasa Inggris pada bentuk jamak dan pada bentuk tunggal 1.       Apple s yakni lebih dari satu apel Apple yakni satu apel Kebanyakan nomina dalam bahasa Inggris...

Masya Allah, Anak yatim jadi Anggota Polri di POLDA NTB.

  Waktu kecil, sekitar umur lima tahun. Dia sering mengantar donat jualan ibunya ke beberapa warung di kampung halamannya tinggal, desa Ncera. Mengayuh sepeda pink tua dan reot pemberian dari kakak pertamanya. Masa kecilnya dia lalui dengan penuh keceriaan bersama teman-teman sebayanya. Dia bersama temannya terbiasa membantu orang tua di sawah dan sesekali membersihkan ladang. Jika sore dan lowong, mereka berenang di embung Ncera dan memancing ikan. Jika musim tertentu mereka mengumpulkan   kemiri dan memetik jambu biji. Di hari minggu dia terbiasa jogging atau camping di dekat air terjun desa Kalemba. Dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang menyenangi pendidikan, itulah Akbar Putra. Nama pemberian ayahnya, berharap suatu saat anak laki-laki satu-satunya bisa mengayomi keluarga dan orang-orang yang sedang membutuhkan. Ayahnya menekankan dalam perilaku kesehariannya, pendidikan adalah investasi utama. Walaupun baju kita biasa saja; tak masalah.   ...

produksi ujaran proses yang rumit hasil yang kelihatan 'biasa'

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ujaran merupakan pembahasan yang melibatkan proses pikiran dan rangkaian kata yang kompleks. Dari ujaran ang dituturkan oleh pembicara kita dapa mellihat keadaan psikologi pembicara melalui kata-kata yang dia ucapakn dan cara dia mengucapkan. Pembahasan ini sangat penting dalam mendikung dunia pengajaran dan interkasi antara guru dan muridnya maupun lawan tutur secara umum. Melihat bahwa ilmu psikoliguistik sangat bermanfaat bagi pengajaran bahasa dan makrolinguistik secara umum.   B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana Proses terjadinya produksi Ujaran C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui proses terjadinya produksi ujaran 2. Mengetahui urutan yang tepat manakah yang lebih dahulu dari ketiga topik yang sedang dibahas, persepsi, pemahaman dan ujaran.  3. Menguraikan proses terjadinya produksi ujaran BAB II Bagaimana Manusia Memproduksi Ujaran dan Kalimat A. PRODUKSI UJARAN 1. Langkah umum dala...