Kemarau
Written on September 19, 2019
Mas,
kali ini Sumbawa mengalami kemarau panjang. Langit, seperti tak mau menanggalkan
sinar matahari di atas kepalaku, langit masih saja cerah. Suhu udara sangat
panas. Berkisar 34 derajat Celsius hingga 36 derajat Celsius. Padahal hari
telah sore. Sudah selayaknya dia kembali ke barat. Matahari seperti berada di ubun-ubunku. Aku
sedang kuliah di kaki bukit ini. Kata orang tuaku supaya aku jadi orang nanti.
Beasiswa yang kata orang mampu mengantarkanku ke gerbang kegemilangan. Katanya.
Mas,
kemarau panjang kali ini rasanya hampa. Sehampa hubungan aku dan dirimu.
Sekering janji-janji lamaran yang kau ucapkan di musim kemarau tahun lalu. Kini
aku pergi. Melanjutkan cita-citaku. Dari pada menunggu janjimu seperti menunggu
purnama dalam serial ada apa dengan cinta. Maka kuputuskan langkah ini. Tetap,
aku tetap seperti yang dulu, menunggu janjimu yang belum tertunaikan. Itulah
aku. Sesederhana itu. Setolol itu. Aku berubah karena perasaan cinta yang kau
berikan begitu indah. Hatiku berkata kau yang kuinginkan. Akalku menolak bukan
kau. Aku berperang dengan batinku sendiri. Aku kebingungan. kepastiannya aku
mau kamu.
Seorang
ahli Filsuf bernama Freud bilang, saya sudah belajar perempuan berpuluh-puluh tahun dan tidak ada
yang bisa saya pahami dari mereka, bahkan saya tidak tahu apa yang diinginkan
oleh perempuan. Bapak filsuf yang terhormat, yang dipuja di ilmu psikologi,
linguistic, komunikasi, politik, sosial budaya dan ilmu-ilmu eksak lainnya.
Perempuan dari zaman purba hingga zaman modern, millennial atau alfa hanya
butuh satu. Bukan uang, bukan tahta, bukan jabatan, bukan kegantengan, bukan
harta yang banyak. Perempuan butuh kepastian. Butuh dilindungi, butuh
didengarkan perasaannya, butuh disayangi, dan butuh diperhatikan. Sedikit
sentuhan, sedikit perhatian, dan sedikit didikan untuk terus bergerak kearah
yang lebih baik. Jika dibutuhkan banyak perjuangan mungkin kita perlu kembali
sedikit untuk mencintai diri kita. adapun uang, harta, kegantengan, jabatan,
hanya atribut pelengkap. Yang paling inti adalah butuh kepastian. Walau
beberapa orang mengatakan tidak ada yang pasti di dunia ini. Oe, bukankah
matahari itu panas adalah kepastian yang tidak bisa dibantahkan oleh aksioma?
Kepastian datang dari komitmen yang kuat,
kongruen antara perkataan dan tindakan. Jadi bukan saja kata-kata manis yang
diumbar di awal cerita. Tetapi pembuktian. Bukan janji yang diungkapkan karena perasaan cinta
sesaat.
Hingga otak kecilku tahu bahwa tidak ada cinta
pada pandangan pertama, yang ada hanya nafsu pada pandangan pertama. Cinta,
haruskah ada dalam pernikahan?. Kerena pada kenyataannya banyak orang yang
menikah karena cinta lalu bercerai dalam jangka waktu sebulan dua bulan,
setahun dua tahun. Dan tidak sedikit orang yang menikah bukan karena cinta,
seperti karena saling komitmen, karena agama, karena kesamaan visi, karena ada hal-hal
lain yang tidak prediksi, cinta mungkin?. Tuh, kan kembali lagi ke cinta. Kapan
sebenarnya laki-laki itu benar-benar yakin bahwa dialah yang terakhir?.
Berdasarkan interkasi yang saya lihat diantara
teman-temanku. Beberapa laki-laki memutuskan untuk menikah dikarenakan harta
perempuan itu. Ih, ini lebih hina. Laki-laki menikah karena harta perempuan.
Memang sih, bagi sebagian lakai-laki menikah itu pilihan rasional. Saya bilang
hina kerena menikah dalam kebudayaan kami di Bima. Menikah bagi laki-laki
adalah menafkahi bukan dia yang dinafkahi secara lahir. Walaupun dia mampu
menafkahi secara batin, tetapi tetap saja bagiku laki-laki yang menikah karena
semata-mata harta perempuan itu. Tetap dianggap hina. Ya karena itu
bertentangan dengan firth laki-laki dari zaman purba hingga milleniah bwah
tigasnya dia adalah provide resource
alias menyiapkan sumber daya kehidupan. Aneh aja sih kedengarannya.
Berbeda jika misalnya dia sakit. Itu lain
cerita.
Keyakinan, komitmen, pilihan, cinta, dan
tanggungjawab bagiku sebaiknya dilandasi oleh sebuah ikatan yang kuat.
Hari ini cahaya matahari masih saja kuat,
menyala bagai bola api yang tidak akan pernah bergerak kemana-mana. Menyengat
dan membuat kepala pening lebih dari tujuh keliling. Wajah-wajah yang dahulunya
putih molek kini berubah warna menjadi coklat. Bertransformasi melampaui waktu
perkiraan kita biasanya.
Di depan stand nasi campur, aku mencari wajah
bibi yang biasanya malayani pembeli. Aku mencoba mencarinya. Kuperhatikan
beberapa mahasiswa sedang melahap makanan mereka. Aku berjalan terus hingga
dapur yang tidak jauh dari deretan meja makan. Ruang makan desainnya los dengan
dapur.
“bu, seperti sangat sibuk sekali.”
“iya nak”
“saya bisa bantu ibu berarti ya?”
“eh” ibu tersenyum ramah.
“bi saya nasi campur satu makan disini”
Sambil menunggu bibi menyelesaikan urusannya
di dapur. Aku berdiri di depan stand dan memandang pintu lipat besi yang
dipenuhi oleh flyer temple berisi wajah politisi partai. Salah satu tulisannya
di dalam flayer pertama bertuliskan.
“saya akan mengerti dan mendengarkan keinginan
rakyat”
My comment, what? jadi selama proses anda di
atas kursi pemerintahan nanti akan mendengar keinginan rakyat yang cukup banyak
tanpa kerja nyata?. Well, walaupun pada akhirnya nanti anda akan kerja tetapi
yang pertama sebagai calon pemimpin nada harusnya tidak hanya mendengarkan
tetapi langsung menentukan sikap. Memperbaiki lubang jalan yang terpampang
tepat di tengah badan jalan,sanking lebarnya lubang itu. Anak sapi bisa tidur
nyenyak. Menyediakan tempat sampah umum yang sulit di cari di kota tercinta
ini. Dalam kehidupan perpolitikan ketika menjadi pemangku kebijakan, bahkan
kita tak perlu melakukan studi banding ke Negara lain. Itu pemborosan,
pemborosan yang menghabiskan keuangan Negara demi “keinginan individu pemangku
kebijakan” bukan “kebutuhan pemangku kebijakan”. Karena sebenarnya, kehidupan
dan lingkungan Negara lain tidak cocok diterapkan di Negara kita yang masih
butuh hal-hal dasar.
Saya masih sangat ingat, ketika teman kosan
saya yang baru pulang dari korea. Lalu berkata, Negara kita ini harusnya
seperti korea.
“lihat korea selatan, mereka Negara maju
dengan sangat pesat. Mereka memiliki hampir semua stasiun MRT, harusnya kita
seperti mereka.”
“belum bisa sob, kita ini masih Negara
komunal. Birokrasinya kita masih kurang bagus. Ada banyak yang bagus, tetapi
kurang dimaksimalkan. Buruknya lagi kita terkadang minder dengan identitas diri
kita sendiri”
“kita tidak usah perpikir jauh. Banyak hal
kecil yang masih kita lalaikan. Buang sampah sembarangan, padahal kita
diajarkan, kebersihan sebagian dari iman. Trus kita lebih sering menggunakan
motor dibandingkan sepeda padahal jaraknya dekat.”
“yah, system di korsel tidak bisa ujuk-ujuk
diterapkan di Indonesia karena kita beda kebudayaan ,, beda keadaan sosial dan
beda cara berpikir, yang paling cocok diterapkan di Negara kita adalah yang
paling dibutuhkan oleh masyarakat kita. dan tentu perlu komitmen untuk
membentuk ekosistem yang baik”
Trus, mengapa pula kita membahas urusan
pemerintah disini?
Karena pemerintah adalah keluarga terbesar
dalam tatanan kehidupan. Keluarga yang sehat biasanya dibantu oleh fasilitas
umum yang memadai, aspal yang mulus, harga tiket pesawat yang bersahabat dengan
dompet mahasiswa dan pegawai. Bahkan sekarang harga tiket pesawat tidak
bersahabat dengan dompet pawagai dan dosen pemula. How pity. Huh.
IMAGE WAS TAKEN FROM https://ko-kr.facebook.com/gown.butikpengantinstylo/photos/pcb.1194945883968823/1194945787302166/?type=3&theater |
“Flyer politisi selanjutnya adalah menuntaskan
program kerja pemerintah.”
Slogan
politisi di flayer yang ini lebih masuk akal, walaupun pada kahirnya nanti dia
yang akan ditagih oleh janjinya sendiri apakah dia akan melakukannya atau tidak
tetapi setidaknya kata-katanya mendidik masyarakat untuk langsung ke inti
masalah.
Mengatur satu daerah sangatlah
sulit. Jadi butuh stakeholder yang saling mendukung, satu sama lain. Tidak
harus semua stakeholder saling mendukung, tetapi cukup beberapa yang
benar-benar terpercaya dan mampu merealisasikan program kerja yang paling
dibutuhkan oleh masyarakat. Tidak mungkin membuat semua orang setuju dengan
kita, tetapi tetap butuh beberapa yang terpercaya dan kuat saja. Paling
pentingnya adalah amanah.
Kenapa pula kali ini saya memikirkan
flayer-flyer itu?. Weird of me. Sepiring nasi campur terhidang di mejaku.
Disampingnya laptop, alat paling sekunder bagi mahasiswa. Bukan lagi alat
mewah. Kutulis naskah ini, sambil mengingat wajah laki-laki yang telah
mengecewakanku, bukan hanya aku yang dia kecewakan. Tetapi keluarga besarku.
Dalam kisah yang hanya berlangsung
enam bulan ini, aku belajar satu hal yang paling penting. Tidak berharap banyak
kepada mulut manusia. Apalagi mulut laki-laki. Teorinya matang telah kuketahui
dan mahsyur kudengar. Namun, kali ini kurasakan bagaimana perasaan suka, dan
perasaan harap dipermainkan oleh seseorang yang tidak pernah kukenal
sebelumnya. Padahal awalnya dia yang bersemangat datang ke rumah. Dengan alasan
menggenapkan separuh agama, katanya. Serius, katanya. Mulutmu. I hate it. I
hate all the promises you make. Ta’aruf yang hampir kau buat rusak dengan cara
yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Untung saja ada teman-teman yang
mengingatkan bahwa ta’arufmu hampir melenceng ke arah pacaran.
Lama-lama saya jadi kembali memiliki
patokan, bahwa perempuan yang terbiasa liqo dan tarbiyah atau taklim hanya bisa
dinikahi oleh laki-laki yang sama. Jadi
memang sudah seharusnya aku kembali ke prinsip awalku. Dengan cara seperti itu,
rasanya hati akan menjadi sangat tenang. Tentram. Keputusan untuk menikah
dengan seseorang laki-laki bukan saja keputusan yang diambil karena ujuk-ujuk
umur kita telah menua, atau satu dan lain halnya. Tetapi dia keputusan yang
paling besar dalam sejarah hidup seorang perempuan. Laki-laki bagi wanita
walaupun bukan segala-galanya. Pada akhirnya, laki-laki adalah surga dan
nerakanya wanita. Seorang yang akan dilihat ketika menutup dan membuka mata.
Yang akan ditaati seumur hidup, yang akan dilayani makan minumnya, yang akan
diurusi pakaiannya, yang akan diurusi perut dan dibawah perutnya. Ih, di bawah
sepertinya lebih dalam. Maksudnya pemahamannya musti mendalam. Apa yang akan
menjadi patokannya? Keikhlasan. Tidak lebih.
Pernahkah perempuan berpikir? Apa
yang paling dia inginkan dari laki-laki? Bagiku? Iya. Menurut kamu. Baik akan
kuceritakan dari awal. Bagaimana pandanganku terhadap laki-laki. Orang pertama
yang paling aku ingat. Ayah. Bagaimana kesanmu terhadap ayahmu sendiri?.
Awalnya sejujurnya buruk.
What?
tidak boleh begitu ti. Ayah yang membiayai kamu sampai kamu sekolah tinggi
seperti ini!. Mulanya seperti ini, aku tidak pernah tahu mengapa ayah selalu
kasar kepada ibuku. Aku tidak pernah tahu dan berusaha mencari tahu. Tapi otak
kecilku waktu itu mengarahkanku focus untuk menjadi yang terbaik di kelas.
Untuk memperhatikan pendidikan dibanding konflik yang terjadi antara ayah dan
ibuku. Bagaimana bisa gadis berumur enam tahun dibiarkan memilih antara ayah atau
ibu?
“mana
yang kamu pilih ti?”
“saya
tidak bisa pilih salah satu ma”
Kata
mulut mungilku
Toh, pada ujungnya adik ketiga dan keempatku
lahir dengan selamat. Itu sudah cukup. Tetapi tetap saja aku melihat ibu
menangis, bertengkar hebat dengan ayah disela-sela itu. Apa aku perempuan yang
tidak bersyukur?
Aku juga sering bertanya, apa aku
perempuan yang kufur nikmat? Pertanyaan yang sering kuhapus seiring dengan
bayangan masa depan hubungan dengan laki-laki manapun yang membuatku dihantui
was-was. Batinku berkata semua rasa kesedihan dan kekecewaan diikhlaskan saja.
toh pada akhirnya ibumu mengikhlahkan semua kesakitan yang diberikan
ayahmu. Kekecawaan yang diciptakan
ayahmu. Toh pada akhirnya ayahmu menyiapkan ladang warisan untuk keperluan
adik-dikmu sekolah dan uang pensiun yang digunakan ibumu untuk membiaya masa
jandanya. Toh pada akhirnya kamu bisa bekerja di tempat kerja yang menjadi
impian banyak orang. Toh pada akhirnya kau merindukan ayahmu untuk kau balas
jasa kebaikannya, kau merindukan ayahmu untuk kau berangkatkan haji.
Waktu terus berjalan, aku diterima di
universitas besar yang kata orang akan membuatku jadi “orang”. Bagiku waktu
itu, memilih jurusan kalau bukan jurusan sejuta ummat, ya jurusan yang bisa
menyisakan banyak waktu luang agar aku bisa memberikan les privat ke anak
sekolah. Pikiran yang sangat simple namun pelaksanaanya sulit. Keculai bagi
mereka yang memiliki komitmen dan kesabaran.
Berangkatlah aku ke subuah kota yang katanya,
kota million dreams for students. Sejujurnya aku pribadi memilih kota itu,
karena selain kuliah saya kepingin belajar agama di kota itu. Tiba di kota yang
katanya kota pantai. Semester pertama saya merasa bosan. Waktu SMA saya jurusan
IPA dan tiba-tiba ketika kuliah dihadapkan dengan jurusan sastra yang santai
dan seriusnya tidak bisa dibedakan. Membuat saya menyesuikan diri dengan
lingkungan jurusan. Pernah terbersit di kepalaku untuk ikut sbmptn di tahun
kedua kuliah. Karena saya rasa jurusan ini tidak memberikan banyak hal yang
bermanfaat kecuali membaca novel-novel lawas yang dibacakan dosen-dosen yang
terhormat. Tetapi teman taklimku menyarankan “”kasihan orang tuamu telah
mengeluarkan banyak biaya. Aku terhenti di situ. Ketika disebut orang tua. Air
mataku mengalir, apalagi melihat rambut ayah dan ibuku yang kian menua.
Di tahun ketiga, aku pulang kampong. Sudah dua
tahun aku tidak pulang. Ayah sangat senang menyambutku, dia menyebutku bukan
saja di tetangga rumah tetapi di depan teman-teman kantornya. Waktu itu, ayahku
sakit dan ingin makan buah. Aku berkata, sabar pak. Tidak ada buah. Lalu dalam
keadaan mengingau ayah merintih. Kemudian dia tertidur pulas. Lama beliau
tertidur pulas. Aku bermain dengan adikku. Menunggunya sadar. Lalu beliau
bangun. Matanya merah, badannya masih gemetar. Rupanya beliau demam. Aku duduk
di bale-bale dalam rumah batu yang baru saja dia bangun. Sebelumnya kami
memiliki rumah kayu yang cukup luas, tetapi karena satu dan lain hal ayah
langsung menjual rumah kayu dan membuat rumah batu yang sangat besar dan nyaman
untuk kami.
“nak, kamu bisa mendaftar lagi SBMPTN pilih
jurusan sejuta ummat?”
“tidak bisa mendaftar di universitas negeri
pak, karena kesempatannya Cuma hanya tiga kali daftar” kujawab dengan sangat
lugas namun pelan dan sopan. Tidak enak jika ayah tersinggung alias takut jika
dia naik pitam. Sebenarnya aku ingin meluapkan kejengkelan dalam hati, mengapa
dari dulu dia tidak pernah mendukungku secara moral dan meninggalkan dukungan
secara finansial saja. tetapi sudahlah semuanya telah berlalu, nasi telah
menjadi bubur. Padahal waktu itu aku bisa saja mengambil jurusan sejuta ummat
itu. Hanya memilih dan mencentangnya dalam kotak kosong itu. Tetapi sayang aku
kurang berani untuk melawan kata-kata ayahku sendiri. Dia berdalih, tidak usah
ambil jurusan yang membersihakan feses orang lain dan seterusnya. Kali ini, aku
menenangkan diriku. Ikhlaskan. Batinku.
Tidak semua dokter menjadi dokter karena uang
atau karena ingin dihormati, ada banyak mereka yang terpanggil karena batinnya
ingin menolong orang lain. That’s all, that it.
Empat tahun berlalu, skripsi yang penuh dengan
drama pergantian pembimbing dua. Dosen yang berbicara sangat jujur namun
menyakitkan. Dan aku pilih yang kedua. Dosen yang jujur namun sedikit nyelekit,
daripada dosen selebritis yang jarang datang. Semua dosen baik tetapi kebaikan
saja tidak cukup, perlu komitmen untuk terus mengajar, bagaimana jadinya jika
pertemuan yang seharunya diisi tatap muka selama empat belas pertemuan. Namun
dosen tersebut hanya datang dua kali pertemuan, hello, niat datang nggak sih
bu?.
Waktu itu yang ingin saya lakukan hanya ingin
menghafal Al-Quran walau masih terbersit keinginan untuk melanjutkankan kuliah
di jurusan sejuta ummat. Hafalan juz 30, waktu itu Alhamdulillah mutqin, namun
juz 28 dan juz 29 perlu diperbaiki. Waktu berlalu, ibu dan ayah tidak
mengijinkan untuk masuk pesantren, salah satu keinginan yang tidak pernah saya
selesaikan sampai sekarang. Masuk pesantren. Cita-cita terpendam lainnya. Namun
beberapa minggu pernah kurasakan ketika masih kuliah. Masuk pesantren kilat
yang bagi sebagian orang jarang diberikan kesempatan. Terima kasih masa laluku
yang baik. Tetapi walaupun ada hambata, herannya, waktu itu aku bisa menghafal
alquran juz 28. Ujung-ujungnya bapakku selalu merindukan hafalan Al-Quranku.
Pernah suatu ketika, saat sedang membaca Al-Quran ayah bilang:
“Loh, kok berhenti bacaan Al-Qurannya?”
“Iya, itu bunyi game di komputernya bapak
berisik”
Itu momen yang paling kurindukan ketika
membaca Al-Quran.
Malamun sambil makan nasi campur sendirian. Matahari
masih saja bertengger dan bersinar dengan sangat cerah. Menciptakan bulir
keringat kering yang kemudian dihempas angin savanna Sumbawa. Suara motor yang
berlalu lalang di depan warung makan ini menciptakan alunan musik alam yang
komplit. Anak pemilik warung yang berlalu lalang sedari tadi membuka lemari es
dan duduk di rak paling bawah kemudian menyandarkan punggun mungilnya di rak
kedua dari bawah.
“dek nama kamu siapa?”
“novi” dia menjawab manja
“sekolah dimana?”
“leseng”
“berapa kilo dari sini ke sekolah?”
“itu dekat.” Oh iya, hanya beberapa anak
cerdas yang bisa menjawb berapa kilo jarak rumahnya dari sekolah
Dia kemudian berlari kesana kemari membantu
ibunya mengembalikan uang pembeli dan mengambil jajanan permintaan pembeli.
Wajahnya yang manis khas jawa semakin menandakan dia keturunan jawa. Ciri khas
yang dia wariskan dari ibunya.
“ah, panas pe”
kata bibi
“iya bu, bu klo punya lahan, ibu tanam aja
rambutan, mangga, dan nangka supaya bisa dijadikan wisata kebun. Kan dingin
jadinya” kataku bersemangat. Seorang mahasiswa dari dalam warung menoleh ke
arahku. Mungkin dia berpikir saya banyak bacot, atau apalah. I don’t care. The
thing that I care is complete my mission. Reveal suggestion to bibi.
“iya si”
kada bibi dan anaknya duduk di sampingnya.
***
Menjadi
kamu sebenarnya tidak sulit, pikiranmu saja yang mempersulit semuanya. Rasa
mindermu, rasa tidak percaya dirimu. Rasa bersalahmu yang berlebihan. Rasa
malumu yang tidak wajar dan tidak pada tempatnya. Kamu hanya perlu sedikit
menjadi berpikir terbuka, tidak perlu bebas. Tetapi menerima keadaan dan mau
merangkul keterbatasanmu. Jika kamu orang yang sulit melupakan seseorang maka
alihkan dengan cara mengingat yang lebih bermanfaat. Mengingat hutang misalnya.
Lebih dari itu, mengingat Al-Quran. Ketika kita belajar mengingat Alquran
dengan cara menghafal suratnya in sha Allah ketenangan akan menghampiri.
Bukankah Allah berjanji, jika engkau melangkah
kepada Allah sejengkat niscaya Allah akan mendekatimu sehasta. Dan jika kamu
mendekata Allah sehasta Allah akan mendekati dengan cara sedepa. Jika kamu
melangkah ke Allah sehasta maka allah akan mendekati dengan lebih dekat dari
itu. Jika kamu mendekati Allah dengan cara berjalan maka dia akan datang dengan
cara berlari. Seterusnya. Ya Allah akhiri kegalauan ini.
Sebenarnya, kamu harus tahu bahwa hidup tidak
seperti dongeng Cinderella yang kita tonton sewaktu kita kecil. Lebih dari itu,
kehidupan tidak terduga. Terkadang hidup yang ktia proyeksikan dalam otak kita
terlampau sulit. Namun ternyata Allah menghadiahkan keindahan dan kita lupa
bersyukur. Terkadang kita melakukan kesalahan yang banyak dan kita lupa meminta
ampun. Dan Cinderella hanya ada dalam dongeng. Namun, dari dongeng itu ada
bagian menarik yang akhir-akhir ini saya pikirkan. Seandainya saja Cinderella
berbalik mengambil kembali sepatu kaca yang dia tinggalkan di istana. Apakah
dia akan menjadi Cinderella yang dicari oleh pengeran sampai ke penjuru negeri
hingga ke loteng-loteng rumah warga?. Cinderella dalam pesta dansa tidak sempat
mengambil kembali satu sepatu yang menjadi pasangan sepatunya itu. Dia terus
berlari ke arah depan. Dia terus berlari dengan waktu yang masih tersisa. Dia
tidak memperdulikan orang-orang yang mengejarnya di belakang. Karena jika
pangeran itu benar-benar menginginkannya dalam hidupnya maka pasti pangeran itu
yang akan mencarinya. Kebaikan hati Cinderella seperti spectrum cahaya yang mengundang
hati=hati murni lainnya. Begitulah. If only she go back to grab her heel, Is
she called Cinderella?
Jadi ketika kamu kali ini dikecewakan. Jangan
pernah melihat kebelakang ti. Apalagi mengharapkan kehadirannya. Hentikan semua
pikrian dan pengharapanmu tentang dia yang mungkin saja saat ini sedang bersama
dengan orang lain. Mungkin saja dia sekarang ini sedang mencari mangsa lain
yang akan dia jebak dengan rayuannya. Karena tak mampu menjebakku yang tidak
hanya sekedar baik tetapi kuat dan terhormat. Wanita terhormat tidak akan
pernah dikalahkan oleh janji palsu bukan?.
Aku membunyikan motor menuju gedung
perkualiahan. Dosen kali ini pasti sedang sholat juga. Setelah melahap nasi
sepiring dan air mineral dari kulkas. Aku bergerak
Komentar
Posting Komentar