Mendengar
Ocehan Ibu
Sepeninggalan
ayah, Ibu adalah orang yang setia menantimu pulang. Kau hanya pulang ke rumah
sesekali saja. ketika libur lebaran, ketika cuti tahunan, ketika libur tahun
baru dan ketika kau merasa bosan dengan hingar bigar dunia perantauan. Kau tak
berani berucap selamat tinggal atau bercipika-cipiki panjang lebar ketika
hendak pamit balik keperantauan. Sebab mata ibu menjelaskan lebih gamblang
dengan tatapannya. Sering kali kau tak mendengar ocehan ibu. Karena ocehannya
kalau tidak basi paling menceritakan tetek bengek tetangga dan kegaduhan gang
samping rumah sore tadi. Sesekali ibu menegurmu karena tak acuh mendengar
ocehannya. Sering kali kau timpali “ah sudahlah jangan sering membicarakan
orang lain” namun tak kalah sengit menimpali “kau harus mendengarkan kata orang
tua”. Lagi-lagi kau membalas “kalau itu menceritakan kejelakan orang lain
berulang-ulang dan tidak ada ibrahnya buat apa bu?”. Lalu kalian berakhir
membatu. Diam seribu bahasa. Sunyi menyuarakan suara bertempuran secara diam.
Kau
semakin membisu dengan ambisi-ambisi yang kau tuangkan di atas jemarimu yang
menari di atas toots laptopmu. Ibu bercerita bersama angin. Kau tak acuh.
Sekali lagi, seperti itu kiranya lebih baik. Kau tidak banyak bicara, tak
berani membuat hati ibu murka sehingga terlontar kata-kata sacral yang bisa
menjelma menjadi doa. Kau lihat ibumu baik-baik. Dia mulai renta. Lalu
diam-diam kau menangis. Betapa dia telah lelah. Lelah membesarkan engkau dan
lelah memenuhi cita-citamu yang telah menjadi bagian dari cita-citanya dia pun
sebaliknya. Wajahnya yang dulu mulus kita mulai keriput. Termakan usia dan
sinar matahari yang telah tega mengikis kekecangan kulit ayunya.
Kau?
kau sibuk dengan pencapaianmu yang ingin mencakar langit ke tujuh. Sebagaimana
orang-orang hebat mengajarkan. Bermimpilah menggapai bulan sebab jika kau
kecewa kau akan jatuh diantara bintang-bintang. Tidak salah tetapi perhatikan
dirimu. Lihat dirimu? Sejauh mana kau bisa melangkah sekarang? Tidak rindukah
kau untuk pulang? Pulang ke rumah ibu? Iya ibu yang bisa mendoakanmu agar
disegerakan untuk mendapatkan rumah yang kau idamkan. Jika ibu adalah busur,
mungkinkah laki-laki yang kau idamkan adalah anak panahnya?. Jika demikian
berarti satu-satunya cara mendapatkan anak panahnya kau harus meminta kerelaan
hati ibu untuk melepaskanmu. Tentu ibu akan melepaskan anak panah jika
sasarannya telah jelas. Tujuannya telah jelas. Jika belum jelas jangan
harap busur akan melepas anak panah.
Ibu, mengapa masalahku begitu rumit?.
Telah banyak
sepertinya dosaku karena melalaikan kata-kata nasehatmu. Dan telah banyak
dosaku karena telah meremehkanmu. Dikarenakan aku terlalu angkuh dengan ilmuku
secuil. Harusnya jika ilmuku benar-benar bilhikmah. Harusnya bisa kupahami dan
kuredam emosiku. Jika saja aku benar-benar berilmu. Namun sayang apalah arti
ilmuku jika hanya kutumpuk dalam kitab-kitab?. Aku baru sadar sebenarnya muara
ilmu adalah kesabaran. Kesabaran untuk konsisten di atas apa yang telah aku
ilmui. Dan seseorang tidak dikatakan berilmu hingga ia mengamalkan apa yang
telah ia ilmui. ilmu butuh kekonsistenan. Bisakah ibu doakan untukku diberi
teman yang bisa mengajakku konsisten?
Komentar
Posting Komentar