Sebuah
pulau yang disebut Bea adalah surge yang tersembunyi di kabupaten Bima. Nisa
dalam bahasa Bima jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti Pulau, Jadi
Nisa Bea berarti Pulau Bea. Sebuah kosakate yang menggelitik naluri linguistic
saya. Mengapa pulau dalam bahasa Bima dikatakan nisa? Nisa dalam bahasa arab
jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti perempuan. Perempuan dalam
budaya Bima diibaratkan ladang. Sebuah wadah yang digunakan untuk menyimpan
bibit. Dalam budaya Bima ketika prosesi pernikahanpun filosofi ini juga
terinternalisasi dalam prosesi sacral ini. Ditandai dengan laki-laki membawa
rumah panggung dan isi-isinya termasuk padi, kelapa, beras, make up, peralatan
dapur, perlengkapan ruang tamu dan bahkan peralatan baju perempuan dan
perempuan menyediakan tanah guna menampung rumah panggung yang dibawa mempelai
laki-laki. Itulah mengapa dalam tatanan sosial, keluarga perempuan atau
perempuan itu sendiri sudah selayaknya menghormati keluarga laki-laki dan
laki-laki itu sendiri. Sebuah budaya yang turun temurun yang jika ditelisik
tidak sepenuhnya datang dari ajaran agama. Kini budaya tersebut mulai tergerus
oleh perubahan pola pikir dan juga biaya rumah yang semakin melonjak naik
pertahun.
Diskusi
kita kali ini mengenai nisa bea. Kemarin, aku dan anak-anak komunitas pemerhati
bombo ncera menyempatkan diri camping bermalam minggu di Nisa Bea. Bersama
dengan Ncuhi atau penjaga Nisa Bea bang XXX yang baik hati, berpengalaman dan
perhatian. Ditambah pula ternyata dia pernah menetap di Tanggerang
bertahun-tahun. Terkadang kami mendengar pengalaman beliau diantara dawai gitar
anak-anak yang asyik dan seru. Di subuh minggu, Gafur alias Patrick menyajika
stand up comedy berisi pengalaman dia selama kuliah di Makassar dan pengalaman
dia menanam bawang seusai kuliah. Anak yang lucu itu memang luar biasa
kemampuan linguistiknya. Kemampuannya menyajikan anekdot tentang keanekaragaman
penggunaan bahasa Bima yang dituturkan oleh orang kabupaten Bima yang kagok
bahasa Indonesia membuat teman-teman cowoknya tidak jadi tidur pagi. Kami
tertawa terbahak-bahak mendengar comedy dia.
Sebelumnya, flashback dulu. Kami sampai di
pulau Nisa Bea di sore hari sekira pukul lima sore. Air laut tenang. Beberapa nelayan
penangkap cumi-cumi baru saja tiba dengan sampannya di bibir dermaga Nisa Bea.
Air surut, angin sepoi-sepoi. Saya menelusuri bibir pantai, beberapa karang
membuat saya memakai sandal Sky way. Di sela-sela karang terdapat bintang laut
warna biru. Indah menggoda, sengaja saya tidak memotree keelokannya dengan
kamera hape. Karena saya tidak mau momen kebersamaan saya dengan alam
terdistraksi oleh Handphone. Saya bercakap-cakap dengan nelayan. Dari kejauahan
ada dua perahu katinting yang sedang terlihat bersandar di sisi timur pulau.
Saya berjalan mendekat. Hingga adikku putra pun berjalan mengikuti saya. Saya
bertanya ke nelayan: ada ikan kah pak?. Belum ada bu. Tangkas mereka. Dengan
tangan kosong saya pulang ke gapura di dekat dermaga. Kupandangi cumi-cumi
empat ekor. Mana cukup untuk tijuh belas personil yang akan bermalam. Tetiba
muslimah memanggil dari kejauhan. Dia memberi kode, bahwa wisatawan yang ada di
gapura kedua akan segera pergi dan mereka masih memiliki bekal ikan yang
sementara di panggang di dalam tungku. Saya mendekat dan bertanya-tanya dengan
mereka. Mereka mempersilahkan kami untuk mengambil ikan di tungku. Dari mana
mereka membeli ikan? Mereka menunjuk di perahu yang tertambat di sisi barat
pulau. Aku berjalan kea rah perahu dan bertanya adalah ikan yang bisa dibeli?
Lalu
tanpa diduga bapak itu menunjukkan ke saya ikan pari. Luar biasa. Terkahir
makan pari ketika aku SMP dulu. Itupun dibawakan ayahku.
“berapa
pak?”
“ini
lima puluh”
“boleh
dengan ikan ceper yang tadi pak?, jadi lima puluh dua ekor ikan”
“enam
puluh ya?”
Terjadi
tawar menawar beberapa detik dan bapak itu merelakan dua ekor ikan hasil
pancingannya lima puluh ribu saja. bukan berlaku kejam ke nelayan tetapi besok
pagi kita perlu menyediakan budget untuk membeli ikan lagi.
Malam
semakin pekat. Namun hawa udara terasa hangat. Tiga tenda telah terpasang
dengan sempurna. Api unggun dan api untuk memasak telah dibuat. Kami memanggang
ikan pari, cumi dan ikan ceper itu dengan penuh kerjasama, kekeluargaan
walaupun hanya yuke, muslimah, ida, ezi, putra, dan ezi yang saya kenal. Novi
namanya saya lupa-lupa ingat. Namun wajah dan penampilannya yang heboh dan
genit selalu saya ingat. Kami makan dengan seru dan ramai. Tujuh belas orang. Tujuh
perempuan, dan sepuluh laki-laki dalam kelompok kami. Ditambah empat laki-laki
yang terdiri dari dua penjaga Nisa Bea dan dua wisatawan yang sepertinya
fotografer. Jadi ada empat belas laki-laki dan tujuh perempuan. Selapas makan,
suara ombak begitu memesona dan romantik. Memanggil kami untuk duduk di
dermaga. Awalnya seusai makan malam kami duduk berkelompok. Ada kelompok
laki-laki da nada kelompok perempuan.
“Kenapa
ini duduk pisahka?, ka datang sama-samaki tadie”
“baku bombeki ini. Ka beda kelaski juga bela”
“ini
kelas ipa, kalian kelas ips’
“ayok
kita duduk di dermaga, masa datang ke pantai tapi tidak duduk di dermaga?”
Duduklah
kami di dermaga. Ditemani gitar, nyanyian popular bima dan canda tawa
menggelitik. kami menikmati malam.
Hingga menjelang jam dua belas malam. Anak-anak kembali ke tenda. Sementara
saya sudah ada di tenda semenjak pukul sepuluh malam. Namun mataku tidak mau
tertidur, sesekali saja terpejam kemudian terjaga lagi. Kata orang Sulawesi
seperti tidur ayam-ayam.
Subuh,
kami naik gunung. Lalu naik di atas menara mengambil foto lalu turun lagi.
Beberapa bercakap-cakap dan beberapa memasak. Sementara saya mencari kerang. Hingga
kakiku terluka oleh makhluk laut yang tidak bisa saya kenali. Saya terpancing
untuk menggali dari sumber yang melukai kakiku. Galian saya semakin melebar
mengikuti lekuk benda yang belum kuketahui. Semakin lebar pun semakin dalam.
Dan dari bentuknya saya yakin ini kerang. Hanya satu namun rambutnya panjang,
ketika bertanya ke Angga, kemenakan paman XXX.
“iini
kerang kampak kak, sekarang mereka dilindungi”
“klo
begitu saya kembalikan ke laut, kasian kak”
“tapi
ini sudah mati kayaknya kak, mending di bakar atau dimasak saja”
“iya
baiklah”
Kami
makan pagi pukul Sembilan dan setelah itu, saya tertidur pulas hingga satu jam
lebih. Di dalam hammock udaranya sedang. Namun di dalam tenda udaranya panas
menyebabkan gerah. Jika di gapura udaranya dingin. Pukul sepuluh saya
jalan-jalan lagi ke sisi barat pulau. Lalu bertemu dengan nelayan yang
menyandarkan perahunya. Saya bertanya adakah ikannya?.
Dia
memperlihatkan ikan kakap merah dan kakap putih. Amboi beruntung kali diriku.
Selalu mendapatkan ikan-ikan berkelas. Kemarin sore ikan pari dan cumi. Pagi
ini ikan kakap merah dan putih.
“berapa
harganya pak?”
“ndak
berani dan terbiasa saya sebut dek”
Rendah
hati pula nelayan ini.
Saya
mendekat ke bapak itu. Namun kerena agak dalam dan membuat baju saya basah jadi
bapak itu semakin mendekatkan perahunya ke bibir pantai. Saya melihat ikannya
dan wah luar biasa. Jadi saya putuskan kembali ke tenda dan mengambil dompet
lalu menyimpan jaket dan topi. Setelah melihat kondisi, bapak itu tidak berani
menawar dan saya juga sebagai pembeli tahu diri tidak menawar berlebihan.
Melihat ikan di box itu, saya tanpa sadar memilih saja seperti baru melihat
permata dari laut. Ini seratus ya pak?
Satu
kakap merah besar, tiga kakap putih besar, satu ikan hitam besar. Dan tiga ekor
ikan ceper sedang. Harga yang luar biasa murah jika di tempat pelelangan ikan
yang ada di desa. Well, lain kali kita kupas rantai distribusi ikan ya?.
Pagi
yang cerah ditemani ikan bakar fresh from the sea, doco bawa bima dan angin
sepoi-sepoi. Semuanya indah pada waktunya bukan? Indah jika kita mau bersyukur
dan berbagi.
Komentar
Posting Komentar