Reportase kuliah sosiolinguistik 9
desember 2014
Keragaman Etnik di Kabupaten Toraja
Pratiwi sakti
P0500214010
Toraja
mengingatkan akan masa kecil saya, saya besar disana ketika masih batita dan
adek kedua saya lahir di tanah toraja pada tahun 1992. Ada hal yang sering saya
ingta ketika berbicara mengenai toraja. Pertama rumah tongkonan yang ada di
toraja, dua rantepao tempat penjualan kerbau, tiga kuburan yang ada disebuah
gunung dan didepan gunung itu berjejer patung-patung kayu. Itu pengalaman masa
kecil saya tentang toraja. Ketika besar tepatnya berumur 17 tahun, ada sepupu
saya yang masih berumur 7 tahun berbicara dengan idiolek yang ia bekin sendiri,
kemudian saya bertanya. Bahas apa itu? Dengan gaya centilnya dia menjawab
“haha itu bahasa toraja, konopoko?”
“ah benarkah?”
Dari kejadian
ini, saya menduga bahwa “uga” sepupuku memiliki teman yang berasal dari Toraja.
Kemudian saya berhipotesis telah terjadi asimilasi budaya dalam kelas tersebut.
Uga yang berdarah bugis sidrap berinteraksi dengan temannya yang berasal dari
Toraja. Dalam ruang lingkup yang kecil yaitu kelas ada keragamaan etnik yang
berasal dari orang tua, daerah dan dialek yang berbeda. Namun hipotesis ini
perlu dibuktikan lebih lanjut, karena mungkin saja uga hanya mendengar satu kali
tuturan tetangga atau temannya.
Pada presentasi
kelompok sinarty dan santy monika. Mereka telah memaparkan “keragaman etnik
pada suku Toraja” dari pemaparan yang telah mereka uraikan diperoleh beberapa
point penting,
Pertama ada
pengertian yang penting untuk diingat menganai materi ini:
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah
etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang
mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa,
dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam
hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem
nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Ada beberapa
point penting yang dapat kita peroleh
1.
Etnik
dapat diperoleh berdasarkan keturunan, saya menduga bahwa etnik seorang anak
yang berasal dari perkawinan campur bisa mengukuti daerah dia tinggal dan etnik
ayahnya. Misalnya berdasarkan kenyataan yang telah terjadi, sepupu saya bernama
“uga” mengikuti ayahnya maka icantumkan dia suku bugis bukan suku Bima.
2.
Adat,
ada juga sepupu yang tinggal di Sumbawa di dia mengaku dan dikenal sebagai suku
Sumbawa walaupun kedua orang tuanya berasla dari Bima namun karena dia lahir
dan besar di Sumbawa.
3.
Agama,
agama merupakan pemisah yang biasanya paling kuat dalam pranata kehidupan
masyarakat, hal ini terlihat di pulau Sumbawa bagian timur yaitu Bima. Secara
geografis Bima dibagian timur berbatasan dengan Flores dan dibagian barat
berbatasan dengan Lombok dibagain selatan berbatasan dengan NTT dan dibagian
utara berbatasan dengan laut. Namun karena agama mereka etnik yang berbeda dan
etniknya disebut etnik Bima.
4.
Bahasa
dan sebagainya, lazim diketahui bahwa berdasarkan bahasa kita bisa meramalkan
dan menduga etnik seseorang.
Lebih jelas lagi Menurut Frederich Barth
(1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan
ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat
pada sistem nilai budayanya.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Santy telah membuat saya
bernostalgia dengan toraja dan sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut,
mengingat Toraja adalah warisan dunia.
Reporatase presentase Masyarakat tutur dikabupaten Maros, 15
desember 2014-12-15
MASYARAKAT
TUTUR DIKABUPATEN MAROS
Pratiwi sakti
P0500214010
Kami
menunggu mam gusna dengan saksama sambil mengobrol hal santai yang sering
ditegur oleh mam gusana yaitu, meng-aktifkan otak kanan. Mereka membuat candaan
tentang otak kanan, kemudian mam Gusna datang. Dari raut wajahnya mengguratkan
kelelahan yang sangat bagi ukuran saya. Giliran presentasi kali ini adalah
kelompok lia dan irwan. Mereka akan mempresentasikan hasil diskusi dan
penelitian lapangan yang telah mereka lakukan yakni “masyarakat tutur di
Kabupaten Maros”. Lia memulia sesi presentasi dengan membeberkan teori yang
telah ia rangkum dari berbagai sumber.
Ada hal penting yang mereka bawakan
dianataranya irawan dan lia menyatakan dalam makalahnya sebagai berikut:
Masyarakat tutur atau speech community yang berada di
Kabupaten Maros menggunakan 4 (Empat) bahasa (Bahasa Bugis, Bahasa Dentong,
Bahasa Indonesia, dan Bahasa Makassar) yang digunakan dalam berinteraksi, baik
itu yang menguasai 1 (Satu) bahasa di antaranya, 2 (Dua) bahasa di antaranya, 3
(Tiga) bahasa diantaranya, dan tak menutup kemungkinan adanya penutur yang
mampu menguasai dan menggunakan keempat bahasa tersebut.
Lebih lanjut
lagi mereka memaparkan beberapa bahasa yang ada dimasayarakat maros,
Keanekaragaman bahasa diakibatkan
letak geografis Makassar dan Kabupaten Maros yang berbatasan langsung dan
memungkinkan penutur bahasa dari kedua daerah tersebut saling berbaur ataupun
berpindah tempat ke wilayah sebelahnya kemudian hidup menetap dan menjadikan
bahasa dari etniknya sebagai bahasa ibu untuk generasinya. Hal inilah yang
mengakibatkan dijumpainya penutur asli Bahasa Makassar di Kabupaten Maros.
Speech
community atau yang biasa dikenal dengan masyarakat tutur menurut saya
merupakan sekelompok masyarakat yang hidup dalam tempat yang sama, saling
berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan mereka dalam kehidupan. Seperti
teori yang mereka kemukakan bahwa dalam masyarakat tutur dijumpai masyarakat
yang lazim menggunakan lebih dari satu bahasa. Dewasa ni perkembangan manusia
yang memiliki kemampuan berbahasa lebih dari dua bahkan tiga bahasa adalah hal
yang biasa.
Seorang anak
terbiasa menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa Ibu dirumah, menggunakan
bahasa Indonesia di sekolah dan bahasa arab mungkin ditempat ia mengaji dan
bahasa Inggris ditempat lesnya. Dan seorang bisa dikatakan bilingual ketika ia
mampu memahami bahasa tersebut walapun ia tidak bisa mengucapkannya secara lancar,
hal ini berdasarkan teori yang dikemukakan oleh seorang linguist. Walaupun da
yang mmengatakan harus menguasau secara fasih namun saya berpehaman bahwa cukup
akan paham bahasa kedua maka seorang tersebut bisa dikatakan bilingual. Dan
berdasarkan kenyataan yang terjadi dimasyarakat dewasa ini sulit menemukan seseorang
yang merupakan ekabahasawan, kecuali orang tersebut tinggal didaerah yang
terisolasi dari kehidupan luar atau daerah pedalaman.
Hal yang paling saya senangi tadi dan
mengingatkan saya akan skripsi S1 adalah pembagian masyarakat tutur berdasarkan
kemampuan bahasa yang mereka miliki yakni, monolingual, bilingual dan multi-lingual.
Pada point ini presentator menjelaskan materi dengan gamblang dan disertai
conoth yang jelas. Hanya saja
kekurangannya menurut komentar yang diberikan ibu gusna mereka tidak mengatakan
secara jelas bahwa dewasa ini sulit ditemukan masyarakat yang monolingual.
Menurut saya karena persebaran arus informasi yang begotu cepat dan hampir
tidak mengenal batas usia, sehingga ketertarikan masyarakat akan satu bahasa
dan budaya lain begitu jelas dan mudah mereka pelajari karena difasilitasi. Dan
juga dengan adanya masyarakat lingual ini masyarakat mudah mengganti bahasanya
atau mengalihkan kode dari bahasa satu ke bahasa target untuk menunjutkkan
respek atau hormat kepada lawan tuturnya.
Membicarakan
masalah speech community berarti membicarakan bilingual dan erat kaitannya
dengan alih kode dan campur kode yang lazim di kenal sebagai code-switching dan
code-mixing. Sayangnya pembahasan mereka tidak terlalu menjurus ke hal ini,
padahal code-switching dan code-mixing ini menanandakan orang tersebut
menguasai dua atau tiga bahasa yang ia gunakan dalam tuturannya. Over all presentasi
yang disajikan oleh Lia dan irwan hari ini lebih dari dari penampilan mereka
sebelumnya. Dari presentasi ini saya menemukan point penting mengenai kemampuan
bahasa yang dimiliki oleh Kabupaten Maros, yaitu hampir tidak ada orang yang
bisa menjadi ekalingual.
Komentar
Posting Komentar