Pagi begitu cerah di desa yang sangat tenang. Hari ini aku akan mengunjungi sebuah desa yang kata sebagian orang berada di negeri antah barantah. Desa yang sedari kecil aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Memandangnya dengan penuh takjub. Aku sering bertanya bagaimana kehidupan mereka di sana. Bagaimana suhu udara di sana?. Bagaimana mereka bisa membuat ladang di gunung dan bukit yang begitu tinggi dan curam* (menurut pandanganku). Aku berangkat pukul 08.30 bersama sepupuku dengan menggunakan motor. Tempat yang kami kunjungi pertama adalah kantor kecamatan. Ketika memasuki desa pertama yang bernama Kaboro di kecamatan Lambitu, kami disambut oleh senyum hangat dari beberapa penduduk. Sehangat mentari pagi bersama angin sepoi-sepoi khas udara perbukitan. Masyarakatnya ramah dan sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Terlihat dari peralatan yang mereka bawa. Kami singgah sejenak untuk bertanya kepada penduduk yang berlalu lalang menuju ladang mereka.
“santabe ta, assalamu’alaikum, dimana kami bisa menemukan kantor kecamatan Lambitu di sini?”
“iya, dari sini kalian jalan terus hingga menemukan gedung warna merah besar dibagian kanan jalan, itu gedungnya di atas bukit sana, kelihatankan dari sini?”
“iya, terima kasih pak… mari..”
Kami melajutkan perjalanan kami menuju di sebuah gedung warna moka yang ditunjukkan warga. Jalanan aspal yang bagus walau berliku merupakan sebuah kesyukuran sekaligus tantangan bagi kami. Terbiasa mengendarai motor dijalanan tanpa tikungan, belokan, tanjakan dan turunan yang begitu berkesan membuat kami merasa was-was ketika berjalan di jalanan menuju kecamatan Lambitu. Sebuah resiko harus diambil untuk menghasilkan penelitian yang layak untuk dikenang. Yah, penelitian bahasa di daerah pegunungan lebih tepatnya daerah marginal perlu untuk dilakukan untuk mendokumentasikan kekayaan Nusantara. Kekayaan yang mungkin tidak bisa kita temukan lagi dalam kurun waktu lima puluh tahun kedepan karena telah tergerus arus mobilisasi yang begitu cepat dan meluas. Kekayaan Nusantara itu bernama bahasa daerah.
Bahasa daerah, masyarakat awam memiliki definisi tersendiri akan sebuah bahasa dikatakan bahasa tersendiri. Sederhana, selama mereka masih memahami apa yang dikatakan oleh lawan bicara mereka maka bahasa dari daerah lawan bicara tersebut masih dikatakan satu bahasa namun ketika berbeda dan mereka tidak memahami apa yang dikatakan oleh lawan bicara mereka maka bahasa itu didefiniskan sebagai sebuah bahasa tersendiri. Bagaimana dengan logat atau dialek?. Dialek telah umum diketahui oleh masyarakat awam sebagai sebuah sub bagian dari bahasa. Jika bahasa adalah ibu maka dialek adalah anak dan ayah adalah bahasa purba, kiranya seperti itu pengertian awamnya.
Agar lebih jelas mari kita menelisik pengertian yang telah diterangkan oleh beberapa bahasawan mengenai pengertian bahasa dan dialek. Chamber dan Trudgill mendefinisikan bahasa sebagai kumpulan dialek-dialek yang dapat dipahami bersama. Jadi di dalam bahasa terdapat dialek-dialek yang dapat dipahami bersama oleh anggota tutur masyarakat tersebut. Mudah dan dapat dipahami.
Penelitian akan bahasa Bima telah banyak dilakukan oleh mahasiswa dan dosen serta peneliti sebelumnya. ada yang meneliti pada tataran linguistik Makro maupun linguistik Mikro. Sebelum membahas lebih lanjut dua istilah baru di atas mari kita simak penjelelasan singkat berikut.
Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa-bahasa atau sebuah bahasa baik sistim bunyi atau fon-nya, ilmu bunyi atau fonologinya, morfem atau kata bentukannya, morfologi atau ilmu yang mempelajari bentuk atau kata, sintaksis atau ilmu yang mempelajari kumpulan morfem sehingga membentuk makna satu kesatuan makna yang utuh. Masih pengertian Linguistik, selajutnya Linguistik juga mempelajari diskursus atau discourse bahasa mudahnya teks atau wacana, wacana pendidikan politik, kesehatan, hukum, sosial, agama, dan seterusnya. Selanjutnya lingusitk mikro hanya berkutat pada fonologi, morfologi dan sintaksis sedangkan lingusitk makro menjangkau fonetik, semantik, sosiolinguistik, antropolinguistik, analisis wacana, analisis wacana kritis (membahas wacana-wacana yang lawas maupun up to date), linguistic forensic, pemetaan bahasa, dialektologi sosial dan dialektologi geografi. Selama linguistik membutuhkan ilmu lain selain fonologi, morfologi dan sintaksis maka ilmu linguistk tersebut termasuk dalam ilmu linguistik makro. Lingusitik makro merupakan ilmu interdisipliner artinya sebuah cabang ilmu linguistic yang membutuhkan ilmu lain di luar linguistik untuk menunjang teori dan analisis bahasa tersebut. Contoh konkretnya, penelitian bahasa seperti ini, “Penggunaan alih kode dan campur kode VJ di Program acara Musik MTV Ampuh: Kajian Sosiolinguistik” pisau analisis yang digunakan oleh peneliti adalah teori alih kode dan campur kode yang dikemukakan oleh Gumperz, Poplack dan Hakim. Data yang diperlukan oleh peneliti adalah tuturan VJ MTV Ampuh selama mereka on air di TV. Kajian yang menjadi payung dari penelitian itu adalah kajian sosiolinguistik yakni kajian yang menggabungkan antara ilmu leksiko-gramatikal analisis, bahasa awamnya analisis kata dan tatabahasa dari tuturan VJ tersebut. Kemudian dihubungkan dengan alasan sosial mengapa mereka melakukan alih kode atau pergantian kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris misalnya, bahasa daerah misalnya dan seterusnya. Kode dalam hal ini diartikan sebagai kata, leksikal, atau frasa dan kalimat.
Adapun contoh ilmu linguistic mikro adalah ilmu linguistic yang membahas intern bahasa saja tanpa menggunakan ilmu lain. Misalnya “Sistim fonologi bahasa Bima: kajian fonologi generative”. Sumber data yang dibutuhkan peneliti adalah tuturan bahasa Bima yang berasal dari Informan dengan kriteria tertentu. Cara pengolahan data dianalisis dengan menggunakan teori transformasi generative Chomsky. Hasil temuan diharapkan dapat menggambarkan ruas-ruas fonem bahasa Bima secara keseluruhan dan menerangkan sistem bunyi bahasa Bima mulai konsonan, vokal, diftong, triftong dan seterusnya.
Dalam penelitian bahasa ada yang disebut dengan variasi bahasa berdasarkann letak geografis bahasa tersebut ditututkan oleh penuturnya. Jadi bahasa X memiliki wilayah pakai bahasa tersendiri yang berbeda dengan wilayah B. kemudian varsiasi bahasa berdasarkan letak geografis ini dibahas dalam geografi dialek.
Lanjut ke desa Teta tempat penelitian yang akan kami tuju. Desa Teta merupakan desa yang terletak di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sebuah desa perbukitan yang mulai dimasuki oleh pengaruh luar yang begitu deras. Hal ini terlihat dari berkurangnya ahan hijau kemudian berubah menjadi lahan ladang atau sawa curah hujan. Menurut sebahagian warga yang bermukim di desa Teta. Teta tidak sesejuk beberapa tahun lalu, dikarenakan meningkatnya jumlah pembalakan liar oleh beberapa warga yang mengalih fungsikan lahan hijau menjadi lahan sawahh tadah hujan. Walaupun demikian keasrian khas pegunungan masih begitu kental dan bukan perubahan yang berarti bagi pendatang seperti kami sebagai peneliti.
Kedatangan kami di desa Teta disambut baik oleh para staff desa Teta dan ibu Amina sebagai kaur desa. Di saat itulah kami mengemukakan maksud dan tujaun kedatangan kami ke desa Teta tersebut. Megambil data bahasa berupa tuturan informan yang belum terlalu terjamah oleh media sosial, berpendidikan tidak terlalu rendah dan tinggi, melek bahasa Indonesia yang baik dan benar, bangga dengan bahasa Sambori (beberapa mengatakan bahasa Wawo). Maka dari itu kami membutuhkan informan yang reliable menurut criteria yang telah ditetapkan pada seminar proposal penelitian. Kami membahasakannya dalm bentuk yang sederhana yakni lulusan SD atau SMP yang mengerti bahasa Indonesia, bahasa Bima dan bahasa Sambori.
Hingga kami dipertemukan dengan empat ibu-ibu yang sedang asyik ngerumpi di salah satu sancaka (semacam teras rumah untuk rumah panggung).
Desa Teta, Kec. Belo, Kab. Bima. Empat Informan
Suasana wawancara begitu akrab, aku mengeluarkan daftar tanyaan yang telah dipersiapkan berdasarkan panduan SIL 500 Sulawesi umbrella word list yang telah dibuat oleh SIL (Summer Institute of Linguistics, sebuah organisasi kebahasaan yang dibuat oleh para misonaris untuk meneliti bahasa sekaligus menerjemahkan Bibel kedalam bahasa daerah tertentu).
Desa Kaowa, Kec.Lambitu, Kab Bima
Gerbang desa Sambori, Kec. Lambitu, Kab. Bima
Informan dari desa Teta, Kec. Lambitu, Kab. Bima
TO BE CONTINUED
Komentar
Posting Komentar